Heroisme Sang Penggenggam Bara Api

Heroisme Sang Penggenggam Bara Api

تزول الجبال الراسيات و قلبه على العهد لا يلوي و لا يتغير

“Boleh jadi gunung tinggipun hancur berantakan, namun hati seorang pejuang

tiada pernah kan bergeming dan berubah, ‘tuk senantiasa memegang teguh janji setianya”

Saat pertama aku mengenalnya, kudapati jiwanya adalah jiwa yang berkarakter lain, penuh gelora hidup untuk dapat memberikan andil perjuangan, sigap untuk selalu menyongsong beragam ketaatan, se-nantiasa dihinggapi semangat hidup dan semangat juang, serta lebih banyak berbuat namun sedikit bicaranya.

Maka pantaslah dia menjadi sang panutan dalam kepribadian dan dalam dakwah. Tatkala diperintahkan untuk berjaga di barisan belakang perjuangan, dengan sigap dia segera berbaur ke belakang. Dan tatkala diperintahkan untuk berjaga di front terdepan, maka secepat kilat diapun telah berada di garda terdepan dalam perjuangan.

Setelah hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, maka aku menyangka bahwa kepribadian dan karakternya pastilah telah berubah oleh berbagai fitnah kehidupan, atau bisa jadi jiwanya semakin lembut, semangatnya semakin redup, atau paling minimal adalah bahwa perjuangan dan tekadnya mulai luntur.

Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan senantiasa meneguhkan para waliNya yang shalih dengan kekokohan hati serta membantunya untuk dapat mengentaskan berbagai kesulitan dan rintangan.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ فِي اْلأَخِرَةِ...

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu da-lam kehidupan di dunia dan di akhirat.....” [QS. Ibrāhīm (14): 27]

Syaykh ‘Abdur Rahmān as-Sa’diy ber-kata:

“Allah mengabarkan bahwa Dia meneguhkan hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu hamba-hamba-Nya yang telah menunaikan kewajiban iman di lubuk hati mereka dengan sempurna, yang sekaligus menumbuhkan gelora amal perbuatan dari seluruh anggota badannya. Yaitu Allah meneguhkan mereka dalam kehidupan dunia berupa hidayah menuju keyakinan yang mantap tatkala syubuhat datang menyerang, atau berupa tekad kuat tatkala syahwat dirinya meradang, dan berupa kesigapan untuk senantiasa lebih mendahulukan kecintaan Allah daripada ke-cintaan hawa nafsu dan keinginan terselu-bungnya.

Dan Dia meneguhkan mereka dalam kehidupan akhiratnya, yaitu dengan meneguhkan keislamannya tatkala maut datang menjemput hingga beroleh husnul khatimah, dan dengan meneguhkan mereka untuk menjawab pertanyaan dua malaikat tatkala berada di alam kubur. Maka merekapun akan dapat menjawabnya dengan benar, bahwa Allah adalah Rabbku, Islam adalah agamaku dan Muhammad adalah Nabiku” (Taysīr al-Karīm ar-Rahmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān: 425-426)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن تَنصُرُوا اللهَ يَنصُرْكُمْ وَ يُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” [QS. Muhammad (47): 7]

Syaykh as-Sa’diy berkata:

“Allah memerintahkan orang-orang beriman agar menolong-Nya, yaitu menegakkan agama-Nya, mendakwahkannya, berjihad melawan musuh-musuhnya dan mempersembah-kan semua hal tersebut semata-mata hanya karena mengharap wajah-Nya.

Apabila mereka telah menunaikan perintah tersebut, maka Allah akan memberikan kemenangan dan meneguhkan langkah mereka. Yaitu dengan menganugerahkan kesabaran, kete-nangan dan keteguhan dalam hati mereka, menyabarkan penderitaan tubuh mereka dan memenangkan mereka dari gempuran musuh-musuhnya” (Taysīr al-Karīm al-Rah-mān fī Tafsīr Kalām al-Mannān: 785)

Dan bukankah angin topanpun tidak sanggup untuk menghantam gunung yang tegar ataupun pohon yang kokoh? Dan bukankah Rasulullah Salallahu Alihi Wasalam telah bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِ كَمَثَلِ الْخَامَّةِ مِنَ الزَّرْعِ: مِنْ حَيْثُ أَتَتْهَا الرِّيْحُ كَفَأَتْهَا، فَإِذَا اعْتَدَلَتْ تَكْفَأُ بِالْبَلاَءِ

“Perumpamaan seorang mukmin adalah bagaikan sebuah pohon yang kokoh, yaitu tatkala angin berhembus kencang maka dia berusaha keras menghadangnya agar tetap tegar, dan tatkala angin berhembus semilir, maka diapun tetap dalam ketegarannya” (HR. al-Bukhāriy dalam Kitāb al-Mar-dha’ Bab Mā Jā’a fī Kaffārah al-Maradh 10/103 No. 5644)

Mungkin saja berbagai fitnah kehidupan sanggup untuk mengikiskan bagian kehidupan duniawinya, baik harta-benda maupun anggota badannya, akan tetapi sesungguhnya apapun yang ada di dunia ini, maka tidak akan sanggup untuk menggoda dan menggelincirkan kaum mukminin.

Dan tidak akan pernah sedikitpun sanggup melumpuhkan tekadnya, meskipun hidup dalam deraan derita dan kemiskinan, kesempitan dan penderitaan, karena jiwanya adalah jiwa seorang kesatria pejuang, tekad perjuangannya senantiasa bergelora, dan hatinya senantiasa tunduk patuh kepada Rabbnya dengan penuh sakīnah dan thuma’nīnah.

Boleh jadi gunung tinggipun hancur berantakan, namun hati seorang pejuang

tiada pernah kan bergeming dan berubah, ‘tuk senantiasa memegang teguh

janji setianya

Belum pernahkah kita menyaksikan seorang kesatria pejuang dari generasi pertama yang pada suatu saat ditikam musuh dan bersiap hendak meregang nyawa, namun di detik terakhir kehidupannya, dia masih lantang berseru dengan penuh senyum kemenangan:

( فُزْتُ وَ رَبِّ الْكَعْبَةِ )

Demi Allah, akulah sang pemenang

Ternyata, kisah heroik ini tidak hanya menjadi milik generasi para shahabat, bahkan dalam setiap generasi kaum muslimin akan senantiasa ada epos kepahlawanan yang mempesona seperti ini, yang memancarkan pesona kebaikan dan keagungan sebagai seorang martir, sehingga kisahnya senantiasa menjadi buah bibir dan keteladanan dalam memegang teguh dan memperjuangkan panji kebenaran.

Banyak sekali orang-orang yang sanggup untuk merengkuh kebenaran, namun sangat sedikit sekali di antara mereka yang mampu untuk berkata lantang, tegar dan sabar dalam memperjuangkan kebenaran tersebut. Dan yang sedikit inilah yang sanggup untuk merubah perjalanan sejarah dan mereformasi realita ummat yang menyedihkan.

Alangkah menawannya ungkapan al-Rāfi’iy yang berkata:

رُؤْيَةُ الْكِبَارِ شُجْعَانًا هِيَ وَحْدَهَا الَّتِي تُخْرِجُ الصِّغَارَ شُجْعَانًا، وَ لاَ طَرِيْقَةَ غَيْرُ هَذِهِ فِي تَرْبِيَّةِ شَجَاعَةِ اْلأُمَّةِ

“Hanya dengan bimbingan pahlawan ber-pengalaman yang berhati ksatrialah yang sanggup menggelorakan keberanian para pemuda, dan hal ini tidak akan terealisasi kecuali melalui pembinaan yang ditujukan untuk memupuk keperwiraan ummat” (Ma-jallah ar-Risālah vol. 94, Muharram 1354)

Kalau kita renungkan dengan seksama tentang hal-ihwal dan kondisi kaum muslimin, tentunya kita akan mendapati bahwa kebanyakan mereka secara umum adalah orang-orang yang tidak memiliki andil untuk menyebarkan dakwah dan mengangkat panji perjuangannya. Tekad mereka nyaris tiada berdetak, dan bahkan tidak pernah memberikan perhatian sedikitpun.

Perasaan mereka tidak tersentuh sedikitpun tatkala menyaksikan kehormatan agama diinjak-injak dan dinodai para durjana. Dada mereka tidak pernah merasa sesak tatkala panji tauhid dicabik-cabik. Karena ambisi mereka hanyalah kehidupan dunia yang bersifat fatamorgana lagi fana.

Di belahan dunia yang lain, kitapun melihat sekelompok kesatria yang dengan sigap mengangkat panji tauhid dengan penuh keyakinan dan kemantapan ilmu. Mereka siap mengorbankan harta, keluarga dan bahkan jiwa mereka sendiri demi tegaknya panji tauhid.

Cacian dan celaan yang meng-hujani mereka tiada sedikitpun menyurutkan langkah. Kita jumpai mereka senantiasa ruku' dan sujud seraya berharap akan karunia dan keridhaan Allah. Itulah sekelompok insan yang telah menggenggam kedudukan agung, sedangkan selain mereka hanyalah beroleh “kedudukan sisa”.

Salah satu hikmah Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang pasti adalah bahwa sarana yang dapat menghantarkan kepada kedudukan tersebut merupakan jalan terjal yang teramat sulit. Karena kalau seandainya jalannya mudah, tentulah akan banyak insan-insan lain yang sanggup menjadi para prajuritnya, bahkan mungkin secara berbondong-bondong.

Maha benar Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang berfirman:

لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَ سَفَرًا قَاصِدًا لاتَّبَعُوكَ وَ لَكِن بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ وَ سَيَحْلِفُونَ بِاللهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ يُهْلِكُونَ أَنفُسَهُمْ وَ اللهُ يَعْلَمُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu, keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Me-reka akan bersumpah dengan (nama) Allah: Jikalau kami sanggup tentulah kami berang-kat bersama-sama. Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta” [QS. at-Taw-bah (9): 42]

Syaykh as-Sa’diy berkata:

Allah memberikan genderang perang ke-pada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka sigap untuk pergi berperang di ja-lan-Nya, baik saat sulit maupun nyaman, dengan semangat maupun terpaksa, saat panas menyengat maupun dingin yang me-nusuk tulang, bahkan dalam berbagai kon-disi.

Yaitu dengan mengerahkan segenap kemampuan dengan seoptimal mungkin, baik dengan harta benda maupun dengan jiwa. Hal ini mengindikasikan bahwa selain de-ngan jiwa, maka jihadpun diwajibkan dengan harta benda, bahkan hal ini sangat dibutuh-kan sekali.

Dan jihad dengan jiwa dan harta benda adalah idealisme yang lebih baik dari pada hanya berpangku tangan. Karena di dalamnya terdapat keridhaan Allah, keme-nangan beroleh derajat kedudukan yang tinggi di sisi-Nya, menolong agama-Nya dan menjadikannya sebagai tentara dan go-longan-Nya.

Dan seandainya tujuan jihad tersebut hanya sekedar untuk mendapat man-faat duniawi yang mudah diperoleh, atau hanya sekedar perjalanan singkat yang mu-lus, maka banyak orang yang akan mengi-kutinya, karena tidak akan menemui rin-tangan yang berarti sedikitpun.

Sebaliknya, ketika perjalanan tersebut adalah sebuag per-jalanan jauh yang melelahkan dan dipenuhi banyak hambatan, maka banyak orang yang merasa berat menitinya…” (Taysīr al-Ka-rīm ar-Rahmān fī Tafsīr Kalām al-Man-nān: 338)

Sumber daya hakiki yang dimiliki ummat bukanlah berupa harta, persenjataan ataupun sumber tambang dan hal lainnya, karena sesungguhnya sumber daya hakiki tersebut adalah sumber daya manusia yang perkasa, yang memiliki tanggung jawab untuk mengemban amanah yang agung.

Sumber daya hakiki berupa jiwa yang senantiasa siap untuk mempersembahkan dan bahkan mengorbankan kehidupannya demi untuk mengayomi dan melindungi da'wah. Dan gambaran keindahan dari tipikal insan yang berdaya guna ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Rasulullah r adalah:

مِنْ خَيْرِ مَعَاشِ النَّاسِ لَهُمْ رَجُلٌ مُمْسِكُ عَنَانِ فَرَسِهِ فِي سَبِيْلِ اللهِ يَطِيْرُ عَلَى مَتْنِهِ، كُلَّمَا سَمِعَ هَيْعَةً أَوْ فَزْعَةً طَارَ عَلَيْهِ يَنْبَغِي الْقَتْلَ أَوِ الْمَوْتَ مَظَانُّهُ

“Sebaik-baik penghidupan yang diupayakan oleh seorang manusia yang akan memberi-kan kebaikan baginya adalah keturunan yang berjiwa militan yang senantiasa bersiaga untuk memacu kudanya menuju medan laga di jalan Allah, yang manakala terdengar genderang perang atau gemerincing pedang di mana pilihannya saat itu hanyalah mem-bunuh ataukah terbunuh, maka diapun de-ngan sigap menyongsongnya” (HR. Mus-lim dalam Kitāb al-Imārah Bāb Fadhl al-Jihād wa ar-Ribāth 3/1503 No. 1889)

Dia adalah seorang kesatria yang telah menadzarkan dirinya untuk membela Allah swt dan senantiasa menyiapkan dirinya untuk berjuang di jalan-Nya, tiada satupun halangan yang sanggup menghadangnya. Renungkanlah bersama sabda Rasulullah saw dalam ungkapan “...memacu kudanya...”, dan ungkapan “...dengan sigap menyongsongnya”.

Saat ini kita berada dalam suatu masa yang masing-masing kita dituntut untuk berfikir “Apakah yang dapat kupersembahkan?”, atau bahkan “Bagaimana aku sanggup untuk menghasilkan suatu (perjuangan) melebihi kemampuan yang ada?”! Hal ini tidak akan mungkin dapat direalisasikan kecuali dengan tekad dan semangat membara yang dilandasi kejujuran, sehingga dalam berbuat atau berproduksi dia senantiasa berfikir jauh ke depan, baik dalam mempersembahkan andilnya mau-pun dalam beramal secara kreatif, dan tidak akan pernah rela untuk beramal dengan sedikit lagi minim.

فـكن رجـلا رجله في الثـرى

و هـامة هـمته في الـثـريـا

Jadilah seorang kesatria yang berdiri kokoh di atas tanah

Namun cita-citanya tinggi menerawang hingga menancap di atas langit

Tidak ada satu halpun yang dapat membinasakan kemauan (ambisi) kuat seseorang kecuali karena dirinya sendiri, yaitu dengan merendahkan dan membungkus dirinya dengan kelemahan, hingga melumpuhkan tekadnya, dan diapun tidak sanggup lagi untuk bergerak dan beraktifitas.

Yang membuat kemampuan seseorang terasa hambar dan tidak bermanfaat tiada lain adalah karena dia mengganggap dirinya sebagai orang yang lemah, serta tidak sanggup untuk beraktifitas dan bekerja secara kreatif. Pada umumnya, kebanyakan orang tidaklah akan sanggup untuk menggali kemampuan dan potensi dirinya kecuali melalui pelatihan dan pengalaman yang berulang.

Dan sudah merupakan hal yang lumrah bahwa hasil kerja seseorang sangatlah tergantung pada kadar kemauan (ambisi) dan tekadnya. Seseorang yang memiliki kemauan atau ambisi adalah seseorang yang memiliki tujuan dan cita-cita tinggi, walaupun bisa jadi pada saat tertentu kemampuannya belum mampu untuk menggapainya.

Namun dia akan senantiasa berusaha keras untuk meningkatkan kemampuannya hingga ambisi dan cita-citanya tercapai. Dan apabila kemampuannya telah tumbuh dan tergali, maka dia tidak akan berhenti pada sasarannya yang pertama saja, tetapi dia pun terus meningkatkan dan menggalinya dengan lebih seksama. Alangkah indahnya ungkapan Syaykh al-Islam Ibnu Taimiyah yang berkata:

“Orang awam (yang memiliki ambisi dan tekad biasa-biasa saja) akan berprinsip: Harga diri seseorang ada pada apa yang diang-gapnya indah, sedangkan orang khusus (yang memiliki ambisi dan tekad luar biasa) ber-prinsip: Harga diri seseorang ada pada apa yang diidealismekannya (diperjuangkan atau dicita-citakannya)[Madārij as-Sālikīn Juz. 3 hal. 3 dan 148] (teamHasmi.org)

DAUROH JANAIZ

HADIRILAH TA'LIM DIGITAL MULTIMEDIA
1. TRAINING (DAUROH JANAIZ)
TATA CARA PENGURUSAN JENAZAH
AHAD 30 AGUSTUS 2009
JAM 05.00 - SELESAI (BA'DA SHUBUH)


2. SANLAT ANAK
PEMUTARAN FILM ANAK ISLAMI - QUIZ -
BUKA PUASA BERSAMA
AHAD 30 AGUSTUS 2009
JAM 15.30 - 18.00 WIB


PANITIA GEMA RAMADHAN 1430 H MASJID AL-BANNA

Uighur, etnis muslim yang terlupakan (2)


Perlawanan kaum Uigur di wilayah barat laut Cina. Etnis yang sama sekali tidak dikenal ini tiba-tiba menjadi sorotan utama media massa di seluruh dunia.

Awal bulan Juli 2009 terjadi bentrokan berdarah antara etnis Uigur yang muslim dan etnis Han-Cina di Ürümqi, ibukota Provinsi Xinjiang di Cina. Menurut laporan resmi pemerintah Cina 158 orang tewas dan lebih dari 1000 luka-luka. Kelompok Uigur sebaliknya memperkirakan jumlah korban mencapai 800 orang.

Pemerintah Cina mengumumkan akan menindak keras dalang-dalang dari kerusuhan tersebut. Mereka bahkan bisa terancam hukuman mati.

Kaum Uigur sebenarnya termasuk etnis Turk, yaitu etnis di daerah antara Asia dan Eropa yang memiliki rumpun bahasa Turki. Jumlah suku Uigur kira-kira 10 juta orang.

Mereka penganut aliran Islam moderat. Lebih dari 8 juta warga Uighur hidup di bagian timur wilayah Turkistan di barat laut Cina. Di Cina daerah ini dinamakan “Xinjiang” (provinsi perbatasan yang masuk belakangan). Tahun 1955 Cina memasukkan Xinjiang ke dalam wilayahnya. Pemerintah lalu menggagas program migrasi besar-besaran etnis Han-Cina ke sana. Sejak itu warga Uigur berjuang untuk melepaskan diri dari Cina.

Sejak serangan teroris 11 September 2001, pemerintah di Beijing selalu berusaha mempengaruhi opini publik bahwa gelombang protes kaum Uigur adalah aksi teroris.

Sama seperti Tibet, Provinsi Xinjiang pun kaya akan sumber-sumber alam seperti minyak dan gas bumi, uranium, platina dan tembaga. Namun kekayaan ini hanya bisa dinikmati oleh Cina. Sebaliknya sekitar 90% warga Uigur hidup di bawah garis kemiskinan.









Tempat yang ramai dikunjungi adalah pasar dan bazar. Seperti kota Upal, sebuah kota kecil yang terletak di jalur sutra antara China dan Pakistan.









Seorang pedagang ternak dari etnis Uigur sedang menunggu pembeli di pasar ternak di Kashgar.









Di Provinsi Xinjiang warga Uigur sangat jarang mendapat pekerjaan yang layak. Menguasai bahasa Cina adalah tuntutan terpenting agar bisa sukses dalam kerja. Karena itu kalau beruntung warga Uigur harus puas menerima pekerjaan kecil-kecilan atau kerja sambilan.









Kota Khotan yang terletak di bagian selatan jalur sutra, sangat terkenal dengan produksi karpet yang sangat mempesona. Karpet-karpet ditenun dari benang wol dan sutra, diselingi benang-benang emas dan perak. Produksi kerajinan tangan ini telah

dimulai sejak berabad-abad. Sampai hari ini karpet dari Khotan merupakan salah satu produksi ekspor terpenting di daerah yang sampai kini masih belum terjamah sumber-sumber daya alamnya ini.









Seorang petani Uigur sedang bekerja di perusahaan kapas di Yarkand. Walaupun produksi kapas di Cina sanggup memenuhi dua pertiga kebutuhan kapas dalam negeri, Cina masih harus mengimpor kapas dari luar negeri karena peningkatan kebutuhan kapas oleh perusahaan tekstil yang kian berkembang pesat.














Di daerah Turpan merupakan wilayah penghasil buah anggur terbaik dan juga anggur kering. Kalau musim panen tiba, para wanita pemetik anggur dari suku Uigur dipekerjakan di sana.

Sejak bertahun-tahun pejuang h ak-hak asasi manusia dari Uigur, Rebiya Kadeer, memperjuangkan hak-hak warga Uigur di barat laut Cina. Mantan pengusaha wanita yang selama 5 tahun harus mendekam di penjara Cina ini saat ini tinggal di Amerika Serikat. Di mata pimpinan Cina, Kadeer adalah dalang di balik kerusuhan di Provinsi Xinjiang.














Menara mesjid yang terlihat sangat unik ini adalah bagian dari mesjid Sugong di kota Turpan. Menara Emin ini merupakan simbol kota Turpan dan dibangun di abad ke-18 dengan meniru gaya mesjid Afghanistan. Kebebasan etnis Uigur dalam menjalankan agamanya sangat dikekang oleh pemerintah Cina.













Panorama sore hari di kota tua Kashgar. Ketika matahari telah tenggelam di balik cakrawala dan tak tampak lagi bayang-bayang, maka dimulailah acara berbuka puasa di bulan Ramadhan.

Anne Clauberg/Samuel Limahekin
Editor: Ayu Purwaningsih

(Sumber : http://www.dw-world.de)



Uighur, etnis muslim yang terlupakan



Bahasa Uighur*) atau Uyghur merupakan anak cabang dari bahasa-bahasa Turki, dengan penutur diperkirakan mencapai 8 - 8,8 juta jiwa. Bahasa Uighur memiliki keserupaan dengan bahasa-bahasa Turki lainnya, jika anda menguasai bahasa Uighur maka anda tidak akan menghadapi banyak kesulitan bila berbicara dengan penutur bahasa Uzbek maupun Kazak, karena kesamaan dalam kosakata maupun strukturnya.

Asal Mula Bahasa Uighur

Bahasa Uighur berakar dari bahasa Turki kuno yang hidup di kawasan Asia Tengah, tepatnya dari kelompok bahasa Chagatay. Para sejarawan Tiongkok berpendapat bahwa apa yang disebut Uighur saat itu menggunakan bahasa yang disebut Huihu dan Tujue yang menjadi bahasa antarbangsa di wilayah tersebut selama berabad-abad. Bahasa Huihu dipakai di kerajaan-kerajaan seperti : Kerajaan Tujue, Kerajaan Kara, Huihu, Dinasti Liao Barat, Ke-Khan-an Jinzhang, Ke-Khan-an Chagatay, dan Kekaisaran Timur. Bahasa inilah yang kemudian berkembang menjadi Bahasa Uighur yang sekarang ini.

Pada abad ke-10, ketika kelompok ini menganut agama Islam, kosakata bahasa Arab dan Persia mulai memasuki bahasa ini dan menjadikan bahasa Uighur sebagai bahasa yang sangat kaya.

Daerah Sebar Bahasa

Bahasa Uighur menjadi bahasa resmi di wilayah otonomi Xinjiang Uighur, Tiongkok. Tersebar juga di wilayah-wilayah lain di Tiongkok, selain itu ada sekitar 300.000 penutur di Kazakstan, Kirgiztan dan Mongolia. Ada juga sekitar puluhan keluarga Uighur yang hidup di bagian utara Pakistan dan komunitas berbahasa Uighur lainnya di Uzbekistan, Tajikistan, Afganistan, Turki, Amerika Serikat dan lainnya.

Status Bahasa

Bahasa Uighur merupakan bahasa resmi di wilayah otonomi Xinjiang Uighur dan sejajar dengan 56 bahasa lainnya di Tiongkok. Bahasa ini dipakai dalam kehidupan sehari-hari, dan diajarkan di sekolah-sekolah di seluruh Xinjiang. Namun demikian, Bahasa Tionghoa atau Han tetap wajib dipelajari sebagai bahasa Nasional.

Kosakata

Kosakata Bahasa Uighur berakar dari Turki, namun banyak mendapat pengaruh dari Bahasa Persia dan Bahasa Arab. Untuk istilah-istilah internasional, Uighur banyak menyerap kosakata Bahasa Rusia dan Bahasa Tionghoa.

Sistem penulisan

Pada masa pra-Islam, bahasa Uighur ditulis dengan huruf Orkhon yang serupa dengan huruf Runik, kemudian semenjak Islam mulai dianut masyarakat Uighur(tepatnya abad ke 10 Masehi), semua penulisan memakai huruf Arab. Pemerintah Komunis Tiongkok pada tahun 1969 berupaya memperkenalkan huruf Latin sebagai sistem penulisan manunggal bagi Bahasa Uighur, namun usaha tersebut tidak berhasil, sehingga pada tahun 1983 huruf Arab yang dimodifikasipun kembali diperkenalkan sebagai satu-satunya sistem penulisan bagi Bahasa Uighur. Perbedaannya adalah dengan ditambahkannya beberapa diakritik khusus yang sesuai dengan pengucapan lidah setempat. Sedangkan masyarakat Uighur di negara-negara bekas Uni Soviet menggunakan huruf Sirilik. Berikut ini contoh perbandingan sistem penulisan antara Arab-Uighur, Latin Turki dan Latin sistem IPA.

Perbandingan Abjad Uighur


Huruf Arab Uighur merupakan satu-satunya sistem penulisan huruf Arab yang paling mudah dibaca, bahkan penciptaan sistem baru ini dianggap sebagai salah satu sistem yang paling konsisten. Tidak seperti sistem penulisan pada Bahasa Arab, Bahasa Urdu, Bahasa Persia maupun Bahasa Pashtun dimana sistem bacanya tidak konsisten dengan penulisannya. Jadi, orang tidak akan mengalami kesulitan dalam membaca huruf Arab Uighur ini.

Dialek Uighur

Bahasa Uighur baku diambil dari bahasa Uighur yang dipakai oleh warga Urumqi, ibukota Xinjiang Uighur. Secara umum, dialek bahasa Uighur terdiri atas dialek UighurPusat (Central Uyghur), Hotan' dan Lopnur.

Kesusasteraan Uighur

Kesusateraan dalam bahasa Uighur juga sangat kaya, tidak heran pada masa lalu kawasan Xinjiang Uighur atau dikenal dengan Turkestan Timur merupakan salah satu pusat kebudayaan Islam di barat Tiongkok dan telah dikenal sejak zaman sebelum Masehi sebagai perlintasan jalur sutera.

Contoh Ungkapan Bahasa Uighur

* Yaxshimusiz?: Apa kabar?
* Ismingiz nime?: Siapa namamu?
* Mening ismim....: Nama saya.....
* Rehmet sizge: Terima kasih

Sumber : Wikipedia

Note:
*) Dalam kitab Thifan Po Khan, Uighur ditulis Wigu


TOAFL : Menguji Standar Validitas Bahasa Arab

Salah satu instrumen evaluasi pembelajaran bahasa Arab adalah tes atau ikhtibâr. Tes bahasa dirancang dan disusun sesuai dengan tujuan, materi dan sasaran pembelajaran itu sendiri. Tes inilah yang banyak dilakukan oleh tenaga pengajar/dosen, karena memang berkaitan dengan tugas edukatifnya, yakni memberi evaluasi dan nilai terhadap pemerolehan dan hasil belajar peserta didik.
Tes kebahasaan merupakan sejumlah prosedur dan instrumen yang didesain secara sistematis, digunakan oleh tenaga pengajar dalam mengamati dan mengetahui performa dan komptensi salah satu keterampilan bahasa peserta didik atau keseluruhannya, sesuai dengan ukuran kuantitatif tertentu dengan maksud mencapai tujuan tertentu pula. Pengerjaan tes sangat tergantung pada petunjuk yang diberikan, misalnya: melingkari atau memberi tanda silang pada salah satu huruf di depan pilihan jawaban, mencoret jawaban yang salah, menerangkan, mengisi titik-titik, dan sebagainya.
Tes kebahasaan itu sangat beragam, bergantung pada perbedaan tujuan, kepentingan, cara pemeriksaan, dan ruang lingkupnya. Dari segi tujuannya, tes kebahasaan dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: tes pemerolehan atau tes prestasi (achievement test, al-ikhtibâr al-tahshîlî), tes profisiensi (proficiency test, ikhtibâr al-ijâdah aw al-kafâah), dan tes kesiapan berbahasa (language aptitude test, ikhtibâr al-isti‘dâd al-lughawî) atau tes prekdisi (predictive test, al-ikhtibâr al-tanabbu’).
Tes pemerolehan bahasa adalah tes yang dimaksudkan menguji apa yang telah diperoleh peserta didik setelah menempuh atau memperoleh pengalaman pendidik-an dalam waktu tertentu. Tes ini terkait dengan kurikulum dan buku ajar yang digunakan oleh lembaga pendidikan, dan pada umumnya dilaksanakan dalam bentuk ujian pada pertengahan atau akhir semester.
Sementara itu, tes profisiensi adalah tes yang tidak dimaksudkan untuk menguji pemerolehan kebahasaan peserta didik, dan tidak terkait dengan kurikulum, buku ajar dan masa program belajar tertentu, melainkan menguji kemampuan dan keterampilan bahasa peserta didik secara umum. Yang termasuk jenis tes ini adalah TOEFL (Test of English as a Foreign Language) atau TOAFL (Test of Arabic as a Foreign Language). Sedangkan tes kesiapan atau prediksi adalah tes yang dimaksudkan untuk menentukan tingkat kesiapan peserta didik untuk belajar bahasa kedua, dan memprediksi kemajuan yang akan dicapai peserta didik. Tes ini juga mengukur aspek audio-visual peserta didik, terutama mengukur kemampuannya dalam membedakan berbagai tarâkîb lugawiyyah.
Dari segi pembuatnya, tes dapat dibagi menjadi dua, yaitu: tes standar (al-ikhtibâr al-muqannan) dan tes tenaga pengajar (ikhtibâr al-mu‘allim). Yang pertama adalah tes yang dibuat oleh lembaga tertentu, dengan standar tertentu pula, untuk dipergunakan dalam skala yang luas, misalnya: tes bahasa Arab untuk seluruh kelas III Madrasah Aliyah dalam ujian akhir di wilayah Kabupaten Bogor. Sedangkan yang kedua adalah tes yang dibuat oleh tenaga pengajar untuk diujikan kepada peserta didiknya sendiri, dan bertujuan untuk mengentahui tingkat penguasaan bahasa yang telah dipelajarinya.
Sementara itu, dari segi skoringnya, tes dapat dibagi menjadi dua, yaitu: tes essay atau tes subyektif dan tes obyektif . Yang pertama adalah tes yang dirancang sedemikian rupa, sehingga peserta didik memiliki kebebasan dalam memilih dan menentukan jawaban dalam bentuk uraian. Tes ini disebut subyektif karena jawaban peserta didik maupun koreksi yang diberikan oleh tenaga pengajar bersifat subyektif. Sedangkan yang kedua adalah tes yang itemnya dapat dijawab dengan memilih jawaban yang sudah tersedia, sehingga peserta didik menampilkan keseragaman data, baik yang menjawab benar maupun yang menjawab salah. Tes ini disebut obyektif karena pilihan jawaban bersifat pasti dan tertutup, tidak membuka peluang bagi peserta didik untuk memilih selain dari pilihan jawaban yang sudah ditentukan; demikian juga penilai juga tidak mungkin memberikan skoring yang menyimpang dari pilihan jawaban yang benar.
Setidaknya ada empat bentuk tes obyektif, yaitu: pilihan ganda (al-ikhtiyâr min muta‘addid, multiple choise), pilihan benar-salah (ikhtiyâr al-shawâb wa al-khatha’), mencari pasangan (al-muzâwajah, matching), dan melengkapi isian (al-takmilah, completion) dengan jawaban yang bersifat tertutup.
Dari segi cara dan bentuk pengujiannya, tes dapat dibagi menjadi dua: tes lisan (ikhtibâr syafawî) dan tes tulis (ikhtibâr tahrîrî). Yang pertama adalah tes yang soal dan jawabannya diberikan secara lisan, sebaliknya yang kedua adalah tes yang soal dan jawabannya diberikan dalam bentuk tulis. Tes lisan dapat digunakan, terutama untuk menguji keterampilan berbicara (mahârat al-kalâm), membaca dan ekspresi verbal (ta‘bîr syafawî). Sedangkan tes tulis dapat digunakan untuk menguji cabang-cabang kebahasaaraban yang kurang cocok diujikan secara lisan, seperti: materi nahwu, tarjamah tahrîriyyah (tarjamah tulis), insyâ’, dan sebagainya.
Aplikasi tes, dalam berbagai bentuk dan jenisnya tersebut, dalam pembelajaran bahasa Arab dapat disesuaikan dengan karakteristik materi yang akan diujikan. Materi istimâ’ berbeda dengan materi qawâ’id dan insyâ’. Demikian juga alat dan media yang digunakan. Tes keterampilan menyimak (ikhtibâr al-istimâ’), misalnya, idealnya dilakukan dalam laboratorium bahasa dengan menggunakan tape recorde dan earphone, atau sekurang-kurangnya didukung oleh rekaman kaset yang dibunyikan melalui tape, seperti halnya tes listening dalam TOEFL atau TOAFL. Tes mufradât juga dikembangkan dengan penuh variasi; tidak hanya berupa mencari sinonim dan antonim kata, melainkan juga dapat berupa mendefinisikan sesuatu, menyebut profesi, mencari salah kata yang asing dari suatu kelompok kata, dan sebagainya.
Penyusunan tes menurut James Smith harus sesuai dengan norma-norma berikut. Pertama, butir-butir atau kalimat soal hendaknya hanya disesuaikan dengan tujuan khusus yang telah ditetapkan. Misalnya saja, jika kalimat soal ditujukan untuk menguji arti mufradât dalam sebuah kalimat, maka alternatif jawaban –jika berbentuk pilihan ganda— hendaknya tidak bias dengan unsur nahwu atau sharaf. Kedua, soal yang dibuat hendaknya sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik, terutama jika berbentuk tes pemerolehan. Ketiga, penyusunan tes hendaknya disertai petunjuk yang jelas, baik mengenai cara dan tempat menjawabnya serta lamanya waktu yang disediakan. Keempat, redaksi atau rumusan masing-masing soal harus jelas, tidak bersayap dan multiinterpretasi, terukur, dan diskriminatif. Kelima, waktu yang diberikan untuk menjawab soal harus sebanding dengan tingkat kesulitan dan banyak soal. Keenam, skoring penilaian harus obyektif berdasarkan proporsi yang ditetapkan, bukan berdasarkan rekaan, dan jauh dari subyektivitas penilai.
TOAFL
TOAFL adalah singkatan dari “Test of Arabic as Foreign Language”. Nama ini diilhami oleh TOEFL (Test of English as a Foreign Language), yang telah ada lebih dahulu. Penamaan ini memang dimaksudkan agar TOAFL lebih mudah diucapkan dan dikenal oleh banyak orang, meskipun terkesan “menyerupai” TOEFL.
Pusat Bahasa (PB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebetulnya telah membuat nama untuk tes ini, yaitu “al-Ikhtibârât al-‘Arabiyyah li al-Dirâsât al-Islâmiyyah li al-Ajânib” atau “al-Ikhtibârât fi al-Lughah al-‘Arabiyyah li al-Nâthiqîna bi Ghairihâ”. Akan tetapi, TOAFL sudah terlanjur lebih dikenal dan populer. Selain itu, TOAFL sudah menjadi “trademark” atau “brainmark” PB UIN Jakarta.
TOAFL dilatarbelakangi oleh upaya serius untuk meningkatkan standar mutu kelulusan secara akurat dan jelas, sehingga tingkat kemampuan bahasa Arab lulusan UIN dapat diukur dengan standar tertentu secara pasti. Penyusunan TOAFL juga disemangati oleh usaha "memasukkan" unsur-unsur keislaman dalam materi tes, sehingga peserta tes berkenalan dengan wawasan dan dunia Islam secara umum. TOAFL lahir dengan visi: "Menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa studi Islam dan sains".
TOAFL mulai digunakan sebagai salah satu materi ujian masuk Program S2 dan S3 IAIN (kini UIN) Jakarta. Penggunaan TOAFL sebagai materi tes didasarkan pada kebutuhan akademis bahwa para peserta program S2 dan S3 dituntut mampu dan memiliki standar tertentu dalam berbahasa asing, utamanya Arab. Selanjutnya, pada 2000/2001, TOAFL juga digunakan sebagai materi tes masuk di beberapa Program Pascasarjana di luar UIN Jakarta, seperti: IAIN Palembang, IAIN Lampung, IAIN Mataram, STAIN Banjarmasin, dan IAIN Padang, bahkan juga PPs. Studi Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Saat ini, PB telah memiliki 8 edisi/form TOAFL; dua di antaranya telah dijadikan sebagai bahan pelatihan TOAFL dan yang empat masih “dijaga kerahasiaannya” untuk digunakan sebagai bahan tes.

a.Perbedaan Antara TOEFL dan TOAFL
Jika TOEFL pertama kali diselenggarakan pada 1963 di 165 negara, TOAFL baru lahir 1998 lalu, dan baru digunakan di Indonesia. Ketika dirancang, disadari bahwa format TOAFL mengadaptasi TOEFL. Karena itu, ada beberapa kesamaan, seperti: bentuk tes (multiple choise), sebagian kisi-kisi dan jumlah soal (150 item), dan skoring. Namun demikian, TOAFL berbeda sama sekali dengan TOEFL. Referensi TOAFL adalah literatur-literatur keislaman multidisiplin dan pengetahuan umum. Nuansa Islami lebih menonjol pada TOAFL daripada nuansa "Amerika" pada TOEFL. Di antara substansi TOAFL adalah: pemikiran Islam, tafsir, ilmu tafsir, hadits, ilmu hadits, sejarah dan peradaban, pemikiran politik, pendidikan, dakwah, fiqh dan ushûl fiqh, bahasa dan sastra Arab, ekonomi, komunikasi, dan perkembangan modern di dunia Islam.
Perbedaan lain yang menjadi karakteristik TOAFL adalah adanya soal-soal gramatika (qawâ‘id), baik nahwu maupun sharf, termasuk i‘râb (analisis jabatan kata dalam struktur kalimat). Soal-soal ini penting dimunculkan karena pemahaman suatu teks atau wacana bahasa Arab dipengaruhi oleh pemahaman terhadap gramatikanya. Jika skor akhir TOEFL tertinggi sekitar 680, maka TOAFL membakukan skor akhir tertinggi dengan angka 700 dan terendah 210.

b.Aspek-aspek Materi Tes dan Jumlah Item Soal
Aspek yang diujikan dalam TOAFL terdiri tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1.Fahm al-Masmû’, sejumlah 50 item, meliputi: (a) pemahaman makna, pengertian, penalaran logis atau kesimpulan dari sebuah pernyataan/kalimat yang diperdengarkan (20 item); (b) pemahaman maksud, topik, penalaran logis, kesimpulan dan makna tersirat dari dialog singkat antara dua orang (15 item); dan (c) pemahaman maksud, topik, penalaran logis, kesimpulan dan makna tersirat dari dialog panjang antara dua orang atau lebih dan alenia pernyataan (15 item).
2.Fahm al-Tarâkîb wa al-‘Ibârât, terdiri dari 40 item, meliputi: (a) melengkapi kalimat dengan ungkapan atau struktur baku (20 item), dan (b) mengenali dan menganalisis penggunaan kata, ungkapan dan atau struktur yang salah dalam sebuah kalimat (20 item).
3.Fahm al-Mufradât wa al-Nash al-Maktûb wa al-Qawâ‘id, terdiri dari 60 item, meliputi: (a) memahami tarâduf (sinonim) atau kedekatan makna suatu yang digarisbawahi sesuai dengan konteks kalimat (20 item); (b) memahami isi, topik dan makna tersirat dalam beberapa paragraf/wacana ((20 item); dan (c) memahami penggunaan, kedudukan (i’râb), derivasi (isytiqâq), bentuk kata dan istilah-istilah nahwu dan sharf (20 item).
Waktu untuk menjwab semua soal tersebut (150 item) adalah 120 menit, sehingga satu soal harus dijawab dalam waktu kurang dari satu menit. Karena itu, di antara kelemahan tes jenis ini adalah terbukanya kemungkinan guessing (asal tebak). Namun demikian, jumlah soal sebanyak itu (150 item) memang didesain untuk mengeliminasi tingkat "asal tebak" tersebut. Sejauh ini, TOAFL merupakan bentuk tes yang relatif terukur, standar, praktis, dan obyektif.

c.Validitas dan Reliabilitas TOAFL
Ciri utama tes yang baik adalah kesesuaiannya dengan kemampuan yang diukur, atau yang disebut dengan validitas. Ciri lainnya adalah kemampuannya melakukan pengukuran dengan tingkat keajegan tertentu, yang dapat dikaji menurut beberapa metode . Dengan kata lain, validitas merupakan kesesuaian antara tes dengan apa yang ingin diukur dalam tes itu.
Ada beberapa macam validitas. Di antaranya adalah validitas isi (content validity), validitas konstruk (construct validity), dan validitas kriteria (criteria validity). Ada juga yang mengklasifikasikan validitas menjadi empat, yaitu: validitas isi, validitas konstruk, validitas prediktif (predictive validity), dan validitas konkuren (concurent validity). Validitas isi menuntut adanya kesesuaian isi antara kemampuan yang ingin diukur dan tes yang digunakan untuk mengukurnya. Kesesuaian itu tercermin pada jenis kemampuan yang dituntut untuk mengerjakan tes, dibandingkan dengan jenis kemampuan yang dijadikan sasaran pengukuran. Tes dimaksud harus benar-benar memerlukan kemampuan menyimak, dan bukan kemampuan membaca.
Validitas kriteria mengacu kepada kesesuaian antara hasil suatu tes dengan hasil tes lain yang digunakan sebagai kriteria. Kriteria yang digunakan untuk menetapkan tingkat kesesuaian itu dapat diambil dari tes sejenis yang diketahui cirri-cirinya sebagai tes yang baik, dan yang diselenggarakan pada saat yang hampir bersamaan. Validitas ini juga dikenal sebagai validitas kesetaraan waktu.
Sementara itu, validitas konstruk merupakan sebuah konsep atau teori yang mendasari penggunaan jenis kemampuan, termasuk kemampuan berbahasa. Pembuktiaan adanya validitas konstruk merupakan usaha untuk menunjukkan bahwa skor yang dihasilkan suatu tes benar-benar mencerminkan konstruk yang sama dengan kemampuan yang dijadikan sebagai sasaran pengukurannya. Dalam tes kemampuan qirâ’ah (membaca), misalnya, urusan validitas konstruk menyangkut pembuktian apakah skor yang dihasilkan benar-benar mencerminkan jenis dan rincian kemampuan membaca yang sama dengan jenis dan rincian kemampuan yang diperlukan untuk memahami bacaan.
Yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah tingkat validitas kriteria TOAFL, bukan validitas isi, karena diukur adalah hasil jawaban peserta tes dilihat dari kesesuaiannya dengan jawaban benar yang telah dirancang.
Sementara itu, reliabilitas merupakan cirri tes yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan pengukuran yang ajeg, tidak berubah-rubah, seandainya digunakan secara berulang-ulang pada sasaran yang sama. Dengan kata lain, reliabilitas terkait bukan dengan tesnya sebagai alat ukur, melainkan dengan hasil pengukurannya dalam bentuk skor yang ajeg. Skor sebagai hasil pengukuran itulah yang seharusnya ajeg, tidak berubah-ubah. Dengan ciri keajegan itu, peserta tes yang sama seharusnya memperoleh skor yang hampir sama pula, seandainya ia kembali mengerjakan tes yang sama, pada kesempatan yang berbeda.

(Sumber : www.pb-uinjkt.org)

Persiapan Ramadhan 1430 H secara maksimal

Ramadhan adalah bulan penuh berkah, penuh berkah dari semua sisi kebaikan. Oleh karena itu, umat Islam harus mengambil keberkahan Ramadhan dari semua aktifitas positif dan dapat memajukan Islam dan umat Islam. Termasuk dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan pemberdayaan umat. Namun demikian semua aktifitas yang positif itu tidak sampai mengganggu kekhusu’an ibadah ramadhan terutama di 10 terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan bulan puasa sebagai bulan penuh amaliyah dan aktivitas positif. Selain yang telah tergambar seperti tersebut di muka, beliau juga aktif melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan. Rasulullah saw. menikahkan putrinya (Fathimah) dengan Ali RA, menikahi Hafsah dan Zainab.

Persiapan Mental
Persiapan mental untuk puasa dan ibadah terkait lainnya sangat penting. Apalagi pada saat menjelang hari-hari terakhir, karena tarikan keluarga yang ingin belanja mempersiapkan hari raya, pulang kampung dll, sangat mempengaruhi umat Islam dalam menunaikan kekhusu’an ibadah Ramadhan. Dan kesuksesan ibadah Ramadhan seorang muslim dilihat dari akhirnya. Jika akhir Ramadhan diisi dengan i’tikaf dan taqarrub yang lainnya, maka insya Allah dia termasuk yang sukses dalam melaksanakan ibadah Ramadhan.

Persiapan ruhiyah (spiritual)
Persiapan ruhiyah dapat dilakukan dengan memperbanyak ibadah, seperti memperbanyak membaca Al-Qur’an saum sunnah, dzikir, do’a dll. Dalam hal mempersiapkan ruhiyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, sebagaimana yang diriwayatkan ‘Aisyah ra. berkata:” Saya tidak melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR Muslim).

Persiapan fikriyah
Persiapan fikriyah atau akal dilakukan dengan mendalami ilmu, khususnya ilmu yang terkait dengan ibadah Ramadhan. Banyak orang yang berpuasa tidak menghasilan kecuali lapar dan dahaga. Hal ini dilakukan karena puasanya tidak dilandasi dengan ilmu yang cukup. Seorang yang beramal tanpa ilmu, maka tidak menghasilkan kecuali kesia-siaan belaka.

Persiapan Fisik dan Materi
Seorang muslim tidak akan mampu atau berbuat maksimal dalam berpuasa jika fisiknya sakit. Oleh karena itu mereka dituntut untuk menjaga kesehatan fisik, kebersihan rumah, masjid dan lingkungan. Rasulullah mencontohkan kepada umat agar selama berpuasa tetap memperhatikan kesehatan. Hal ini terlihat dari beberapa peristiwa di bawah ini :
• Menyikat gigi dengan siwak (HR. Bukhori dan Abu Daud).
• Berobat seperti dengan berbekam (Al-Hijamah) seperti yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim.
• Memperhatikan penampilan, seperti pernah diwasiatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah ibnu Mas’ud ra, agar memulai puasa dengan penampilan baik dan tidak dengan wajah yang cemberut. (HR. Al-Haitsami).

Sarana penunjang yang lain yang harus disiapkan adalah materi yang halal untuk bekal ibadah Ramadhan. Idealnya seorang muslim telah menabung selama 11 bulan sebagai bekal ibadah Ramadhan. Sehingga ketika datang Ramadhan, dia dapat beribadah secara khusu’ dan tidak berlebihan atau ngoyo dalam mencari harta atau kegiatan lain yang mengganggu kekhusu’an ibadah Ramadhan.

Merencanakan Peningkatan Prestasi Ibadah (Syahrul Ibadah)
Ibadah Ramadhan dari tahun ke tahun harus meningkat. Tahun depan harus lebih baik dari tahun ini, dan tahun ini harus lebih baik dari tahun lalu. Ibadah Ramadhan yang kita lakukan harus dapat merubah dan memberikan output yang positif. Perubahan pribadi, perubahan keluarga, perubahan masyarakat dan perubahan sebuah bangsa. Allah SWT berfirman : « Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri » (QS AR- Ra’du 11). Diantara bentuk-bentuk peningkatan amal Ibadah seorang muslim di bulan Ramadhan, misalnya; peningkatan, ibadah puasa, peningkatan dalam tilawah Al-Qur’an, hafalan, pemahaman dan pengamalan. Peningkatan dalam aktifitas sosial, seperti: infak, memberi makan kepada tetangga dan fakir-miskin, santunan terhadap anak yatim, beasiswa terhadap siswa yang membutuhkan dan meringankan beban umat Islam. Juga merencanakan untuk mengurangi pola hidup konsumtif dan memantapkan tekad untuk tidak membelanjakan hartanya, kecuali kepada pedagang dan produksi negeri kaum muslimin, kecuali dalam keadaan yang sulit (haraj).

Menjadikan Ramadhan sebagai Syahrut Taubah (Bulan Taubat)
Bulan Ramadhan adalah bulan dimana syetan dibelenggu, hawa nafsu dikendalikan dengan puasa, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka. Sehingga bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat kondusif untuk bertaubat dan memulai hidup baru dengan langkah baru yang lebih Islami. Taubat berarti meninggalkan kemaksiatan, dosa dan kesalahan serta kembali kepada kebenaran. Atau kembalinya hamba kepada Allah SWT, meninggalkan jalan orang yang dimurkai dan jalan orang yang sesat.

Taubat bukan hanya terkait dengan meninggalkan kemaksiatan, tetapi juga terkait dengan pelaksanaan perintah Allah. Orang yang bertaubat masuk kelompok yang beruntung. Allah SWT. berfirman: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS An-Nuur 31).

Oleh karena itu, di bulan bulan Ramadhan orang-orang beriman harus memperbanyak istighfar dan taubah kepada Allah SWT. Mengakui kesalahan dan meminta ma’af kepada sesama manusia yang dizhaliminya serta mengembalikan hak-hak mereka. Taubah dan istighfar menjadi syarat utama untuk mendapat maghfiroh (ampunan), rahmat dan karunia Allah SWT. “Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa." (QS Hud 52)

Menjadikan bulan Ramadhan sebagai Syahrut Tarbiyah, Da’wah
Bulan Ramadhan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para da’i dan ulama untuk melakukan da’wah dan tarbiyah. Terus melakukan gerakan reformasi (harakatul ishlah). Membuka pintu-pintu hidayah dan menebar kasih sayang bagi sesama. Meningkatkan kepekaan untuk menolak kezhaliman dan kemaksiatan. Menyebarkan syiar Islam dan meramaikan masjid dengan aktifitas ta’lim, kajian kitab, diskusi, ceramah dll, sampai terwujud perubahan-perubahan yang esensial dan positif dalam berbagai bidang kehidupan. Ramadhan bukan bulan istirahat yang menyebabkan mesin-mesin kebaikan berhenti bekerja, tetapi momentum tahunan terbesar untuk segala jenis kebaikan, sehingga kebaikan itulah yang dominan atas keburukan. Dan dominasi kebaikan bukan hanya dibulan Ramadhan, tetapi juga diluar Ramadhan.

Menjadikan Ramadhan sebagai Syahrul Muhasabah (Bulan Evaluasi)
Dan terakhir, semua ibadah Ramadhan yang telah dilakukan tidak boleh lepas dari muhasabah atau evaluasi. Muhasabah terhadap langkah-langkah yang telah kita perbuat dengan senantiasa menajamkan mata hati (bashirah), sehingga kita tidak menjadi orang/kelompok yang selalu mencari-cari kesalahan orang/kelompok lain tanpa mau bergeser dari perbuatan kita sendiri yang mungkin jelas kesalahannya. Semoga Allah SWT senantiasa menerima shiyam kita dan amal shaleh lainnya dan mudah-mudahan tarhib ini dapat membangkitkan semangat beribadah kita sekalian sehingga membuka peluang bagi terwujudnya Indonesia yang lebih baik, lebih aman, lebih adil dan lebih sejahtera. Dan itu baru akan terwujud jika bangsa ini yang mayoritasnya adalah umat Islam kembali kepada Syariat Allah. []




Sumber : Panduan Ibadah Ramadhan, Iman Santoso, Lc.

Hukum Ringkas Puasa Ramadhan

Hukum Ringkas Puasa Ramadhan

Menyambut Ramadhan, banyak acara digelar kaum muslimin. Di antara acara tersebut ada yang telah menjadi tradisi yang “wajib” dilakukan meski syariat tidak pernah memerintahkan untuk membuat berbagai acara tertentu menyambut datangnya bulan mulia tersebut.
Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari kewajiban puasa yang ditetapkan syariat yang ditujukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah k. Hukum puasa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Adapun puasa wajib terbagi menjadi 3: puasa Ramadhan, puasa kaffarah (puasa tebusan), dan puasa nadzar.

Keutamaan Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur’an. Allah k berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185)
Pada bulan ini para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka.
Rasulullah n bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِقَتْ أَبْوَابُ النِّيْرَانِ وَصُفِدَتِ الشَّيَاطِيْنُ

“Bila datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan dibelenggulah para setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pada bulan Ramadhan pula terdapat malam Lailatul Qadar. Allah k berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ. سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar.” (Al-Qadar: 1-5)

Penghapus Dosa
Ramadhan adalah bulan untuk menghapus dosa. Hal ini berdasar hadits Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لَمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu, dari Jum’at (yang satu) menuju Jum’at berikutnya, (dari) Ramadhan hingga Ramadhan (berikutnya) adalah penghapus dosa di antaranya, apabila ditinggalkan dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)


Rukun Berpuasa

a. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah n:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab z)
Juga hadits Hafshah x, bersabda Rasulullah n:

مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)
Asy-Syaikh Muqbil t menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama menghasankannya.
Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah, ‘Aisyah g, dan tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan para shahabat.
Persyaratan berniat puasa sebelum fajar dikhususkan pada puasa yang hukumnya wajib, karena Rasulullah n pernah datang kepada ‘Aisyah x pada selain bulan Ramadhan lalu bertanya: “Apakah kalian mempunyai makan siang? Jika tidak maka saya berpuasa.” (HR. Muslim)
Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan Abud-Darda, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Hudzaifah ibnul Yaman g. Ini adalah pendapat jumhur.
Para ulama juga berpendapat bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada setiap hari puasa karena malam Ramadhan memutuskan amalan puasa sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan niat yang baru. Wallahu a’lam.
Berniat ini boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya maupun akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama1.
b. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab z bahwa Rasulullah n bersabda:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْرَكَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Jika muncul malam dari arah sini (barat) dan hilangnya siang dari arah sini (timur) dan matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Puasa dimulai dengan munculnya fajar. Namun kita harus hati-hati karena terdapat dua jenis fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini muncul masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat Shubuh karena belum masuk waktu.
Fajar yang kedua adalah fajar shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah. Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum dan yang semisalnya serta diperbolehkan shalat Shubuh.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas c bahwa Rasulullah n bersabda:

الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلاَةَ وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَيُحِلُّ الصَّلاَةَ

“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-Hakim, 1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377)
Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu ‘Abbas c dan bukan sabda Nabi n). Di antara mereka adalah Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya (1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Juga diriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementara diriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.
Wallahu a’lam. 

1 Cukup dengan hati dan tidak dilafadzkan dan makan sahurnya seseorang sudah menunjukkan dia punya niat berpuasa, red


Siapa yang Diwajibkan Berpuasa?

Orang yang wajib menjalankan puasa Ramadhan memiliki syarat-syarat tertentu. Telah sepakat para ulama bahwa puasa diwajibkan atas seorang muslim yang berakal, baligh, sehat, mukim, dan bila ia seorang wanita maka harus bersih dari haidh dan nifas.
Sementara itu tidak ada kewajiban puasa terhadap orang kafir, orang gila, anak kecil, orang sakit, musafir, wanita haidh dan nifas, orang tua yang lemah serta wanita hamil dan wanita menyusui.
Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena puasa adalah ibadah di dalam Islam maka tidak diterima amalan seseorang kecuali bila dia menjadi seorang muslim dan ini disepakati oleh para ulama.
Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak terkena beban beramal. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib z bahwa Rasulullah n bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِي حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Diangkat pena (tidak dicatat) dari 3 golongan: orang gila sampai dia sadarkan diri, orang yang tidur hingga dia bangun dan anak kecil hingga dia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Meski anak kecil tidak memiliki kewajiban berpuasa sebagaimana dijelaskan hadits di atas, namun sepantasnya bagi orang tua atau wali yang mengasuh seorang anak agar menganjurkan puasa kepadanya supaya terbiasa sejak kecil sesuai kesanggupannya.
Sebuah hadits diriwayatkan Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x:
“Utusan Rasulullah n mengumumkan di pagi hari ‘Asyura agar siapa di antara kalian yang berpuasa maka hendaklah dia menyempurnakannya dan siapa yang telah makan maka jangan lagi dia makan pada sisa harinya. Dan kami berpuasa setelah itu dan kami mempuasakan kepada anak-anak kecil kami. Dan kami ke masjid lalu kami buatkan mereka mainan dari wol, maka jika salah seorang mereka menangis karena (ingin) makan, kamipun memberikan (mainan tersebut) padanya hingga mendekati buka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sementara itu, bagi orang-orang lanjut usia yang sudah lemah (jompo), orang sakit yang tidak diharapkan sembuh, dan orang yang memiliki pekerjaan berat yang menyebabkan tidak mampu berpuasa dan tidak mendapatkan cara lain untuk memperoleh rizki kecuali apa yang dia lakukan dari amalan tersebut, maka bagi mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib membayar fidyah yaitu memberi makan setiap hari satu orang miskin.
Berkata Ibnu Abbas c:
“Diberikan keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim dan dishahihkan oleh keduanya)
Anas bin Malik z tatkala sudah tidak sanggup berpuasa maka beliau memanggil 30 orang miskin lalu (memberikan pada mereka makan) sampai mereka kenyang. (HR. Ad-Daruquthni 2/207 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 7/204 dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal. 60)
Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib atas mereka menggantinya di hari yang lain adalah musafir, dan orang yang sakit yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia berpuasa menyebabkan kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya.
Allah k berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap janinnya atau anaknya bila dia berpuasa, wajib baginya meng-qadha puasanya dan bukan membayar fidyah menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat para ulama.
Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi z, bersabda Rasulullah n:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمَ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi orang musafir dan (demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.” (HR. An-Nasai, 4/180-181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, Al-Baihaqi, 3/154, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Yang tidak wajib berpuasa namun wajib meng-qadha (menggantinya) di hari lain adalah wanita haidh dan nifas.
Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya untuk berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa, maka dia telah melakukan amalan yang bathil dan wajib meng-qadha.
Di antara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah x:

كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلاَ نُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Adalah kami mengalami haidh lalu kamipun diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Wallohu a’lam